Dua Delapan

Setelah kawannya berpulang secara mendadak, Katie kembali meneleponku dan mendesak untuk segera bertemu. Ia bilang ini penting dan tak lagi bisa ditunda. Aku sudah bilang bahwa masalah ini tak semudah kelihatannya. Lebih rumit dari berbagai hipotesa di atas kertas dan diskursus kasual di kedai kopi. Ia bersikeras. Tak lagi bisa menunggu, katanya. Tak lagi bisa berdiam.

Aku mengiyakan ajakan setengah paksaan dari Katie untuk bertemu sore nanti. Aku sudah tahu kira-kira percakapan seperti apa yang akan terjadi. Kami sudah terlalu sering membicarakannya. Kami tahu apa yang benar dan semestinya dilakukan. Tapi kami seharusnya juga tahu bahwa dunia ini penuh dengan cacat dan ketidaksempurnaan.

“Ini sudah keterlaluan!”, ujar Katie setengah berteriak ketika Ia melihatku menghampiri mejanya di sebuah sudut cafe yang entah mengapa sepi pengunjung ketika itu. Aku, seperti biasa, datang terlambat. Lima belas menit dari jadwalnya. Mungkin juga lebih. Aku tak melirik jam tangan ketika mendorong pintu masuk.

“Sampai kapan kita mau diam aja? Kalau gak ada yang bicara, gak bakal ada yang tahu kalau ini semua ngaco”, Katie terus menyerocos, tak memberikanku kesempatan untuk mengucapkan selamat berjumpa.

“I know, Kat. Gue pesen kopi dulu ya.”

“Kenapa gak bisa mesen dari sini aja sih?”

“Kan elo udah tahu di sini harus pesen ke counter? Mereka orangnya cuma dikit. Gak cukup kalau harus ambil order dari meja ke meja”.

“Tapi di sini cuma ada kita sama orang yang di meja depan itu.”

“Iya, tapi kan peraturannya emang gitu. Elo kaya ga pernah ke sini aja deh.”

“Peraturannya harusnya diubah lah, masa….”

Aku segera memotongnya dengan cepat.

“Kat, kalau gue dari tadi udah mesen, sekarang kita udah ngobrol. Bentar ya”.

Aku segera menuju ke counter dan memesan segelas cappuccino hangat. Katie memang begitu jika sedang emosi. Selalu mempertanyakan segalanya. Menurutnya salah satu kesalahan terbesar bangsa ini adalah menerima segala sesuatu dengan mentah-mentah tanpa memberi ruang untuk berpikir kritis. 

Ia selalu protes akan banyak hal dari mulai mengapa batik Jawa dianggap baju nasional ketika kain dari daerah lain tidak, hingga framing pemberitaan media soal tragedi yang cenderung mengobjektifikasi korban jika kebetulan korbannya perempuan berparas elok. Terkadang protesnya cenderung mengada-ada seperti ketika Ia berargumen bahwa intellectual property harusnya dihapuskan saja karena menghambat akses finansial masyarakat marjinal terhadap banyak. Ya gak bisa gitu lah. Mabuk Proudhon ini anak, pikirku.

Tapi aku sadar betul bahwa saat ini kemarahan Katie bukannya tidak beralasan. Pekan lalu, teman sebangkunya ketika SMA meninggal dunia tiba-tiba. Disinyalir Ia meninggal karena kelelahan bekerja. Tidak tidur berhari-hari karena harus mengerjakan order dari klien. Satu kali, Ia terjatuh dan tertidur untuk selamanya.

Katie menatapku dengan muka serius.

“Cuma ada satu jalan keluar. Serikat pekerja untuk industri kreatif. Ini mendesak dan tak bisa menunggu lagi”.

Aku terdiam saja sambil menyeruput kopi. Aku akan membiarkan Katie untuk meluapkan dulu isi hatinya seperti biasa.

“Orang-orang ini gak bisa seenaknya saja mengeksploitasi karyawannya atas nama industri lah. Pake alasan basi kalau mau kerja di agensi kreatif memang pola kerjanya seperti itu. Pasti jam kerja gak jelas. Pake bilang ini resiko pekerjaan bla bla bla. Harus ada proteksi terhadap perlakuan semena-mena seperti itu.”

Aku masih tak bersuara.

“Dan elo tahu gak yang paling menyedihkan apa? Ini para pekerjanya pun juga tolol-tolol. Gak tahu kalau diri mereka dijadiin sapi merah. Mau aja dikerjain. Mau aja ditakut-takutin. Mau aja dijadiin pekerja rodi untuk bayaran yang gak seberapa. Elo tahu gak sih gaji anak-anak ini berapa? Gak sebanding sama sekali dengan porsi kerjanya. Udah gitu kalau dikasih tahu, mereka akan bilang kalau mereka nerima aja kaya gini karena memang sudah begini jalannya. Fatalis-fatalis bego”.

Aku rasa ini saatnya aku angkat bicara. Aku bilang ke Katie kalau Ia tak bisa serta merta melabeli semua orang bego hanya karena tidak punya kesadaran akan hak mereka. Belum tentu hal tersebut penting bagi mereka karena untuk sebagian orang, menerima segala sesuatu apa adanya merupakan pilihan terbaik.

Seperti pembicaraan-pembicaraan kami sebelumnya, aku bilang aku mengerti dasar dan kerangka berpikir Katie. Aku bahkan tak menampik bahwa serikat kerja harusnya jadi mandatori di semua industri. Tapi lanskap industri yang katanya kreatif ini memang belum mengizinkan organisasi seperti ini terbentuk.

“Susah, Kat. Orang-orang yang punya kesadaran politik tinggi kaya elo pasti memilih keluar dari industri. Sementara yang di dalam gak punya pilihan selain untuk menerima norma yang memang sudah ditekankan pada mereka sejak awal. Elo kan tahu sendiri gimana banyak orang alergi sama serikat-serikat kaya gini. Elo inget kan dulu bahkan di sebuah institusi media yang katanya The Fourth Estate dalam demokrasi, ada yang dipecat gara-gara menginisiasi serikat pekerja di dalam perusahaannya”.

Katie dahulu juga salah satu dari mereka. Selesai dari bangku kuliah, Ia masuk ke salah satu biro iklan terkemuka dan memenuhi impiannya bekerja di industri kreatif. Sebagai seseorang dengan gambaran ideal dalam benaknya, Katie mendapati realita begitu sulit untuk dicerna. Ia berhadapan dengan jam kerja yang tak tentu, gaji yang tak seberapa, dan berbagai justifikasi soal keadaan tersebut yang menurutnya hanya omong kosong belaka.

Hingga suatu ketika Ia memutuskan untuk membentuk suatu wadah untuk menampung aspirasi dari para pekerja kreatif seperti dirinya. Salah satu cita-citanya adalah penetapan gaji minimum untuk pekerja sektor kreatif untuk masing-masing posisi dan pembatasan jam kerja. 

Idenya disambut baik oleh rekan-rekan sejawatnya dan Ia mengumpulkan belasan pekerja kreatif dari beberapa biro dalam pertemuan pertama. Semua seiya sekata bahwa perlu ada organisasi untuk memperjuangkan kepentingan para pekerja di bidang ini.

Namun jumlah belasan tersebut terus menyusut pada pertemuan berikutnya dan terus berlanjut hingga pada satu titik hanya tersisa aku dan Katie. Setelah diusut, ternyata kabar soal pertemuan perdana tersebut sampai kepada bos di masing-masing biro. Tak suka dengan potensi kekuatan yang bisa tergalang jika gerakan ini dibiarkan berkembang, para direktur ini mengambil berbagai langkah untuk menjauhkan karyawan-karyawannya dari serikat yang hendak digalang Katie. 

Ada yang terang-terangan mendapatkan larangan tertulis untuk bergabung dalam serikat apa pun karena karyawan “dilarang terlibat kegiatan politik”. Ada yang diperbanyak porsi kerjanya sehingga tak punya banyak waktu untuk melakukan hal lain. Serikat impian Katie tertumpas bahkan sebelum sempat bertumbuh.

Omonganku, tentu saja, tak menyurutkan semangat Katie sedikit pun.

“Tapi ini bikin orang mati! Ini teman gue sendiri yang mati. Ini personal buat gue. Dan elo tahu kasus kaya gini bukan yang pertama. Masa mau didiamin aja?”

“Ya ini emang gak bener, tapi kita bisa bikin apa, Kat? Kita dulu udah pernah nyoba dan gagal. Orang tuh takut kalau diajak-ajak berpolitik kaya gini, meskipun untuk kepentingan mereka juga. Begitu diancam sama bosnya, mereka mundur semua. Kalau disuruh milih bikin serikat atau pekerjaan, mereka tentu aja milih pekerjaannya. Gak semua orang punya safety net kaya elo, Kat”.

Katie terdiam sejenak. Ia memang punya keleluasaan untuk tidak tunduk pada norma industri. Datang dari keluarga yang lebih dari berkecukupan, Katie memilih untuk keluar dari industri kreatif dan memulai bisnis katering. Tidak akan ada karyawan gue yang akan kerja rodi, tegasnya kepadaku. Semua akan dapat kompensasi yang sebanding.

Tapi karena latar belakang sosialnya tersebut, berbagai langkah dan pemikiran Katie sering disambut sinis oleh orang-orang yang tidak sepakat dengan tendensi politiknya. Bagi mereka, Katie hanya, meminjam istilah zaman Sjahrir, “sosialis dansa-dansi” yang terlalu sibuk mengurusi urusan yang bukan urusannya. Katie dianggap terlalu borjouis untuk bersinggungan dengan gagasan sosialis seperti serikat kerja.

Aku tahu bahwa Katie selalu murka jika latar belakang sosialnya disinggung, maka aku sadar betul reaks seperti apa yang akan muncul ketika aku bilang dengan berhati-hati, “Maybe this is not your fight, Kate. You know you have the luxury….”

“Dont you dare saying that to my face! Memang kenapa kalau gue middle class? Memang kenapa kalau gue punya duit? Memang kalau gue punya duit semua yang gue omongin jadi gak bener? Memang karena gue middle class apa yang bilang soal eksploitasi pekerja itu cuma mengada-ada?”

Aku tersenyum kecil dan menganggukkan kepala.

“Kat, elo tahu gue gak pernah bilang apa yang lo omongin gak bener. Tapi kita berhadapan dengan situasi yang menurut gue lebih besar dari kemampuan kita. Gimana caranya menggerakkan pekerja yang menurut lo tertindas ini saat mereka aja gak merasa sedang ditindas?”

“Inilah yang bikin susah. Kesadaran! Kesadaran politik yang gak ada. Pekerja-pekerja urban yang lulusan kampus-kampus bagus ini cemen kesadaran politiknya kalau dibandingkan sama buruh pabrik. Udah gitu, pake songong pula terhadap para buruh pabrik ini kalau pada demo”.

Ini memang bagian yang dari dulu selalu bikin aku geli. Kalau buruh pabrik pada turun ke jalan untuk minta gaji dan penghidupan yang layak, biasanya para pekerja urban kelas menengah akan merespon dengan sinis. Bikin macet aja. Gak bersyukur. Gak tahu diri.

Padahal para buruh pabrik ini hanya ingin memperjuangkan kepentingannya. Mereka tahu bahwa jika hanya protes sendiri-sendiri akan dengan mudah dicuekin dan dilibas. Mereka harus datang dalam jumlah yang besar. Mereka harus berkumpul dan datang dalam satu suara. Mereka harus berserikat.

Ini sesuatu yang tak dimengerti oleh kebanyakan pekerja kelas menengah kota. Mungkin saja betapa individualistisnya kehidupan komersial metropolitan membuat mereka tak sadar dengan besarnya potensi kolektivisme. Minimnya pendidikan politik menyebabkan muncul anggapan bahwa kegiatan rame-rame seperti ini hanya bikin susah diri sendiri.

Padahal dalam tradisi demokrasi, serikat pekerja yang kuat dan fungsional adalah salah satu ciri kehidupan berdemokrasi yang sehat. Bila menengok negara-negara demokrasi maju di Eropa, hampir semuanya punya serikat pekerja yang berjalan dengan baik. Partai Buruh dalam berbagai rupa yang ada di berbagai negara benua biru tersebut pun muncul dari aspirasi dan kepentingan kaum pekerja.

Salah satu stigma yang melekat setiap wacana serikat pekerja dimunculkan adalah bahwa ini adalah sebuah gagasan radikal kiri yang belum tentu masuk selera banyak orang. Padahal serikat pekerja tak melulu mesti dimaknai dengan demonstrasi turun ke jalan. 

Masih ingat beberapa tahun lalu ketika dalam periode beberapa bulan, Hollywood hanya memproduksi film remake dan sekuel? Gara-garanya adalah asosiasi screenwriter di Amerika melakukan mogok kerja dalam rangka negosiasi kolektif soal kompensasi kerja mereka. Karena para penulis naskah mogok, tidak ada skenario baru yang bisa diproduksi. Hollywood pun lumpuh parsial.

Jika demagog Mordor kapitalis seperti Hollywood saja mengakomodasi keberadaan dan kepentingan serikat pekerjanya, mengapa hal ini tidak bisa diterapkan pada sektor dan bidang lain?

Bayangkan, para pekerja kreatif berkumpul dalam satu payung organisasi dan melakukan negosiasi kolektif dengan para dedengkot industri. Misalnya, gaji mininum copywriter sekian dengan jam kerja sekian jam setiap pekan dan dijadikan standar industri yang harus diratifikasi perusahaan. JIka ditolak, maka seluruh copywriter dalam serikat akan melakukan mogok kerja.

Tentu saja lazimnya langkah seperti ini agar berhasil harus berhasil mengumpulkan para pekerja sektor tertentu dalam jumlah yang besar. Salah satu alasan mengapa serikat pekerja seperti buruh pabrik bisa jadi begitu kuat adalah kuantitas. Sehingga, walau secara jenis pekerjaan buruh pabrik tidak memiliki keahlian berkualifikasi tinggi, mereka tetap punya power karena bernegosiasi dalam jumlah besar. Seandainya para pemilik perusahaan ingin mengganti mereka pun harus menggantinya dalam jumlah besar. Bukan pekerjaan mudah.

Ini berbanding terbalik dengan para pekerja di industri yang membutuhkan keahlian dan kualifikasi tinggi seperti industri kreatif. Ada keahlian dan kualifikasi tertentu yang dibutuhkan untuk bekerja di sektor tersebut. Maka sebenarnya secara hitung-hitungan, pekerja kreatif sebenarnya memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Jika datang secara kolektif, mereka tak bisa dengan serta merta digantikan begitu saja.

Tentu saja ini mengesampingkan salah satu anggapan miring bahwa industri kreatif kebanyakan dihuni oleh mereka-mereka yang sebenarnya tidak tahu mau ngapain, seperti halnya bahwa para mahasiswa baru memilih masuk Fakultas Ilmu Komunikasi karena dianggap gampang dan pasti lulus.

Aku kembali menoleh ke arah Katie. Ia seperti sedang berusaha untuk merangkai gerbong-gerbong pikiran dalam benaknya.

“Kat, menurut gue nih ya. Elo akan selalu dianggap outsider kalau ngomongin masalah ini. Lagian elo juga udah gak ada di dalam industri ini. Gue tahu bahwa elo bilang posisi lo harusnya gak membuat isu serikat kerja ini jadi invalid. Tapi bakal sulit kalau elo yang menginisiasi gerakan ini. Maksud gue, simpati dan kesadaran para pekerja kreatif ini cuma bisa muncul kalau percikannya digesek dari dalam.”

“Ya gue tahu, tapi gimana? Ini udah ada orang mati untuk kesekian kalinya aja masih belum ada percikan-percikan juga. Semua berjalan dengan normal-normal aja kaya kalau ada pekerja mati karena overwork itu ya resiko pekerjaan. Tentara mati ditembak itu resiko. Mereka tahu betul bahwa di medan perang mereka bisa mati ketembak. Memang ada orang pas mau masuk biro kreatif mikir di awal “Gue bisa aja mati karena jadi copywriter. Ini udah jadi resiko”. That’s not fucking normal”.

“Gini aja, gue tahu apa yang ingin lo perjuangkan ini mulia. Tapi elo harus ngajak orang-orang lain juga dari dalam. Coba deh mulai ngobrol. Siapa tahu dengan kejadian kaya gini, sekarang kesadaran orang udah mulai muncul.”

Katie kembali terlihat sedang berpikir. Aku kembali menekankan bahwa revolusi tidak akan pernah bisa dilakukan oleh satu orang saja. Semua gerakan sosial politik yang sukses dalam sejarah dunia terjadi ketika gagasan satu orang ditularkan pada banyak orang. Gagasan revolusi bisa saja muncul di kedai kopi, tapi apa yang membuatnya berjalan adalah aksi nyata dan aksi massa.

Aku tahu bahwa gagasan revolusioner Katie harus diimplementasikan pada kanvas yang lebih dari sekadar platform media sosial. Tak cukup hanya sekadar Hashtag. Tak cukup hanya petisi di change. org. Eksistensi di internet kerap menghadirkan ilusi dan distorsi yang menyebabkan apa yang sebenarnya biasa saja terlihat lebih besar dari kenyataannya.

Menggagas ide progresif adalah satu hal, tapi membuat orang lain berbagi pandangan yang sama dan ingin bergerak, ini lain soal. Menurutku, di sinilah letak kegagalan Katie selama ini. Ia tak sanggup menggerakkan orang lain. Problem klasik generasi ini. Mungkin.

Aku tak seberkharisma Katie dan menurutku aku masih kalah progresif dari segi pemikirannya dibanding dirinya. Aku sering kali jadi mitra untuk berdiskusi, tapi untuk menjalankannya di depan, Ia butuh orang lain selain diriku.

“Jadi apa saran lo?”, tanya Katie.

“Kumpulin aja teman-teman lo yang dulu. Ajak juga junior-junior lo untuk ngumpul. Ngobrol-ngobrol lagi aja. Mumpung kasusnya masih baru. Semua orang lagi emosional sekarang. Harus lo manfaatkan momentumnya.”

Katie mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia lalu mengambil tasnya dan berjalan ke arah keluar. Tepat sebelum Ia menarik gagang pintu, Ia berbalik menoleh ke arahku dan bertanya.

“Lo tau bahwa serikat pekerja ini satu-satunya cara kan?”

Aku bilang iya.

Keesokannya aku mendapatkan pesan di whatsapp yang sepertinya dikirimkan ke banyak penerima sekaligus. Isi pesannya singkat dan jelas: mengajak bertemu untuk membahas pembentukan serikat pekerja kreatif. Aku tanya ke Katie bagaimana respon dari rekan-rekannya. Ia bilang semua menyambut positif dan bilang memang sudah saatnya muncul lembaga seperti itu.

Di hari yang sudah ditentukan dengan cukup optimis aku memasuki kedai kopi tempat bertemu. Wajah Katie terlihat cukup cerah, Sepertinya ia juga yakin kali ini paling tidak gagasannya akan mendapatkan progres.

“Berapa banyak yang bakal datang menurut lo, Kat?”

“Gue gak mau muluk-muluk. Sepuluh, sebelas, udah bagus. Yang penting kita harus mulai dulu.”

Sampai kedai kopi itu tutup, hanya kami berdua yang ada di meja di sudut cafe tersebut.

“Mungkin lain kali, Kat”, ujarku menghibur.

Mungkin.